TEMPO.CO, Jakarta - Alih-alih solutif, wacana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Reformasi Sistem Keuangan menimbulkan kecemasan para ekonom. Perpu ini dituding menambah deret masalah perekonomian akibat corona karena mengganggu stabilitas pasar keuangan.
Tak hanya menolak, dua lembaga riset independen, yakni Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Center of Reform on Economics (Core), satu suara meminta pemerintah meninjau ulang aturan itu yang muncul pada masa krisis.
“Reformasi sektor keuangan ini tidak urgent (mendesk) dan justru bisa negatif,” kata Direktur Eksekutif Core Indonesia Piter Abdullah saat dihubungi Tempo, Rabu, 2 September 2020.
Perpu reformasi sistem keuangan akan merombak kewenangan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, Bank Indonesia atau BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kebijakan ini diambil lantaran pandemi corona mengharuskan pemerintah melakukan kegiatan di luar kenormalan, termasuk dalam hal peraturan perundang-undangan.
Dalam rapat bersama Komisi IX DPR pada 24 Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa perpu ini sedang dibahas sebagai landasan hukum. Tema besar tujuan perpu ini untuk memperkuat sistem keuangan.
Setidaknya, aturan ini meliputi dua poin. Pertama, aturan ini mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang diharapkan bisa meningkatkan penerimaan negara dan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran yang dirasa akan lebih efektif. Kedua, mendorong tumbuhnya investasi melalui kewenangan bank sentral.